Perkawinan menurut orang muda


 

Tulisan berjudul Refleksi Perkawinan disalin dari buku diary yang saya tulis pada 16 Januari 2022 sebagai tanggapan atas pembacaan teks kitab Suci Yesaya 62:1-5, Mazmur Tanggapan Mazmur 96:1-2a.2b-3.7-8a.9-10a, 1 Korintus 12:4-11, dan Yohanes 2:1-11.

Refleksi tentang Perkawinan dipandang dalam dua sisi yakni dari pihak yang menerima sakramen sakramen perkawinan dan kaum muda yang sedang belajar tentang mempersiapkan perkawinan. Dalam tulisan ini saya hanya menyoroti perkawinan dari perspektif kaum muda, walaupun belum mengetahui maupun mengalami dinamika hidup berkeluarga tidak berarti belum boleh bersuara, tetapi dapat merangkai gagasan tentang pernikahan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari membaca dan mendengarkan kisah hidup kaum berumah tangga.

Setiap gagasan, pendapat, dan ide seseorang tidak dapat dipisahkan dari ideologi ataupun ajaran yang dianut, latarbelakang keilmuan maupun ideologi yang dianut secara eksplisit tersirat dalam bahasa yang digunakan.

Kitab Hukum Kanonik (KHK) kanon 1055 pasal 1 menyatakan bahwa perjanjian (foedus) perkawinan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodrtainya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Berdasarkan kutipan Kitab Hukum Kanonik di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa perkawinan merupakan persetujuan yang bebas dari seorang pria dan seorang wanita yang melalui keduanya menjadi simbol kasih Allah kepada manusia.

Menikah itu membahagiakan…Seperti girangnya hati seorang mempelai melihat pengantin perempuan (Yesaya 62:5). Kegirangan mempelai pria membahasakan kembali kegirangan Adam ketika pertama kali melihat Hawa, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kejadian 2:23). Adam begitu bergembira memiliki …seorang penolong baginya, yang sepadan dengan dia. (Kejadian 2:18). Sukacita Adam menjadi lambang sukacita para pria yang begitu berbahagian tatkala Tuhan membawa ke hadapannya seorang penolong yang sepadan dengan dia. Peristiwa Allah membawa seorang penolong yang sepadan dengan dia dalam Gereja Katolik berlangsung dalam sakramen Perkawinan. Pengesahan bahwa keduanya bukan lagi dua melainkan satu, Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Matius 19:6)

Sakramen perkawinan yang diterimakan kepada pengantian pria dan pengantin wanita menegaskan bahwa Allah membawa mempelai pria atau wanita hanya untuk pasangan yang sah dihadapan Tuhan dan sesama, selebihnya dinamai penyimpangan atau pelanggaran terhadap kemurnian perkawinan dan perlawanan dan pemberontakan terhadap kehendak Allah:Dosa.

Dinamika hidup perkawinan yang digemakan dalam janji perkawinan “Menerima pasangan dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, untung dan malang” hendak menggambarkan kehidupan dan perjalanan bahtera rumah tangga tidak senantiasa berjalan mulus tanpa hambatan bagaikan berlayar dalam kolam renang, melainkan berlayar di lautan kehidupan yang luas dengan badai topan yang datang tak menentu.

Konflik selalu ada. Kompleksitas konflik dipengaruhi oleh keinginan, “tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya, dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut (Yakobus 1:14-15). Konflik eksternal turut mewarnai kehidupan berkeluarga. Dalangnya ialah dosa orang lain yang menyeret pasangan dalam pusarannya. Tentang dosa orang lain tidak perlu dijelaskan, namun kedua pasangan harus berdoa.

Adapun konflik lain yang terjadi atas kehendak Allah. Dia mengijinkan konflik itu terjadi dan dialami keduanya dengan maksud untuk memurnikan kasih diantara keduanya supaya semakin bekerja keras dan senantiasa berdoa. “Berdoa dan bekerjalah. Berdoalah dan bekerjalah. Berdoalah seakan-akan segala sesuatu bergantung pada Allah, dan bekerjalan seakan-akan sesuatu bergantung pada kamu” (KGK 2834).

Perkawinan merupakan sebuah pesta. Pesta perkawinan duniawi tidak melulu menampilkan sukacita selamanya, melainkan ada pihak-pihak yang mengorbankan diri menyukseskan pesta. Situasi kehabisan anggur terjadi pada pesta perkawina di Kana. Apakah anggur yang disediakan terbatas? mungkin saja persediaannya terbatas karena telah dicedok di dua hari sebelumnya saat persiapan pesta. Jawaban ini hanyalah asumsi pribadi yang tidak dapat dibenarkan secara moral “klaim nyasar tak berdasar”. Walaupun tidak dapat diakui keabsahannya, kiranya perlu melakukan penafsiran terhadap teks Injil Yohanes 2:1-11 tentang mereka kehabisan anggur.



Anggur adalah bagian integral dari upacara Pernikahan Yahudi. Minuman pasangan dari satu cangkir setelah pembacaan berkat pertunangan mereka. Secangkir anggur kedua digunakan untuk tujuh berkat atau sheva brochos yang digunakan untuk menandai penyatuan dua jiwa menjadi satu dan memuji kebahagiaan atas mereka. Anggur digunakan sebagai simbol kehidupan dan sukacita. Anggur simbol kenikmatan.

Baca juga anggur dipernikahan Yahudi pada tautan berikut!:

https://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/481775/jewish/Wine-at-the-Jewish-Wedding.htm

Perkawinan bagai “anggur” yang memberi kenikmatan saling menyerahkan “konsensus” berkuasa atas tubuh pasangan melalui persetubuhan. Menikah merupakan sarana melanggengkan persetubuhan. Persetubuhan terarah pada kelahiran anak dan pendidikan anak.

Tak dapat dipungkiri keadaan bahtera berubah menjadi kacau balau diterpa gelombang laut kehidupan yang dahsyat dan nyaris menenggelamkan perahu. Inilah yang disebut sebagai “kehabisan anggur”. Kehabisan anggur merupakan representasi/simbol kemiskinan dalam keluarga baik jasmani maupun rohani.

Orang Katolik patut berbangga memiliki ibu bernama Maria. Seorang Ibu sungguh merasakan apa yang dialami putera-puterinya dengan segera merespon kelemahan manusia, meminta pertolongan kepada Yesus Putera Allah, meskipun orang lain belum tahu tentang Yesus, Maria telah mengetahui dan mengenal-Nya. Bunda Maria telah menyingkapkan sebuah misteri agung tentang sikap yang harus ditonjolkan yakni ketaatan melaksanakan perintah Allah “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu” (Yohanes 2:5), ketaatan melaksanakan perintah Tuhan, berbuah hasil yang memuaskan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perkawinan menurut orang muda"

Post a Comment